Sabtu, 03 Mei 2014

Batas

"Yang membatasi kita itu diri kita sendiri, bukan bagaimana kita dilahirkan" - Anggun

Ceritanya baru saja mendengar Anggun berkata demikian ketika sedang mengomentari penampilan seorang peserta audisi  berkebutuhan khusus di salah satu acara talent show Indonesia. Seketika kalimat itu sungguh membuat saya berfikir. Cukup lama. Cukup membuat saya termenung.

Bener juga ya, 
pikirku akhirnya. 

Jadi gini,
kebanyakan dari kita (termasuk saya sendiri) hampir selalu membatasi diri untuk melakukan sesuatu. Apapun itu. Contoh kecilnya aja sabar. Ya, sabar. Banyak orang merasa kesabarannya udah abis. Banyak orang gak sabar sebelum kesabarannya itu menuai hasil. Banyak orang berkata 'kesabarannya berbatas'.  Padahal, bukankah hakikat sabar itu sendiri lebih dari sesuatu yang memiliki batas?

Saya yakin banyak dari kalian menganggap ini klise. Sungguh saya pun begitu. Tak ada yang tau batas sebenarnya dari batas itu sendiri bukan? Ketika seseorang ingin mendapat IP diatas 3.50 atau 4.00, misalnya. Disisi lain seseorang itu juga ingin aktif di berbagai organisasi, ukm, kepanitiaan, dan kegiatan lain. Lantas, setelah ia memikirkannya ulang, ia mulai ragu. Dia mulai membatasi dirinya. Mulai datang anggapan-anggapan kalau dia tak akan mampu menjalani kesemuanya. Saran dari orang sekitar pun beradu. Dan akhirnya, tercipta batasan-batasan dalam melakukan sesuatu. Mungkin pada awalnya optimis, tapi lagi lagi ketakutan atas keterbatasan diri itu yang secara tak sadar membuat dirinya terbatas. 

Saya pernah mengalaminya, kawan.
Anggap saja saya ingin menguasai sepakbola (yakali, Ti wkwk). Pada awalnya, saya yakin saya bisa. Sempat terpercik keinginan untuk dapat bermain di piala dunia, misalnya. Seperti orang sedang kasmaran, selalu saja memikirkan bermain bola, selalu bola bola terus dan bola lagi. Setiap hari ingin latihan. Tak sabar menunggu waktu pulang sekolah untuk sekedar bermain bola. Memikirkannya, ingin selalu bersamanya, ingin selalu didekatnya... (oke cukup jangan berlebihan, Ti!). Tapi, siapa sangka lama-kelamaan sang jenuh itu datang, kawan. Kembali membuat jatuh hilang tak terarah. Saat jenuh itu menghampiri, perlahan semangat itu menipis. Akhirnya kikis termakan keputus-asaan, terbunuh batas. "Saya gak akan bisa melakukannya karena saya gak berbakat", "Saya nggak mungkin sehebat dia karena kemampuan saya dan dia berbeda. Kemampuan saya terbatas". Mungkin teman-teman pembaca sekalian (emang ada pembaca, Ti? -_-) pernah atau mungkin sering mengalami hal tersebut. Tapi, apakah kalian percaya kalau ternyata batasan-batasan itulah yang akhirnya membentuk 'bagaimana seseorang' terhadap sesuatu itu. Seberapa hebat kita menguasai apa yang ingin kita kuasai itu tergantung seberapa besar batasan yang kita bentuk.

Gini-gini...

Didefinisikan besar kemampuan seseorang adalah A dan batasan adalah B. 

Dan A = B

Artinya, seberapa besar kemampuan seseorang itu berbanding lurus dengan bagaimana ia mampu membatasi dirinya. Jadi, jangan pernah takut membuat batas, kawan. Jangan pernah ragu untuk percaya kalau kita bisa lebih dari apa yang kita pikirkan.

Batas itu tak berbatas, kawan.
Batas itu dibentuk, bukan terbentuk.

Yak, sekian. 
Semoga bisa menjadi renungan.




Salam manis, 
dari yang manis
untuk yang termanis
- Choirunnisa Muthi'ah


Puisi Jadul - a very latepost

Duduklah,
aku akan menceritakan sebuah kisah padamu,
Bukan tentang langit yang tak juga gemerlap oleh gemintang
Bukan tentang hujan yang rinainya tak reda jua
Apalagi tentang angin yang datang seketika menjatuhkan dedaunan

Dengarlah,
Hanya akan kubisikkan takkan kuteriakkan
Maka jangan kau tulikan telingamu
di saat ku melagukan senandung nyanyianku

Apa kau mengira aku kan bercerita lewat mulut?
Tidak, belum tentu.
 Maka lihatlah,
Jangan kau butakan matamu
di saat ku menarikan melodi penuh kenangan

Karena aku tidak akan mengulangnya,
Kamu hanya cukup rasakan,
Ini bukan tentang bagaimana kau mendengarnya,
Juga bukan tentang bagaimana kau melihatnya,
Melainkan lebih dari seberapa besar kau merasakannya..